Hukum memanfaatkan barang gadaian

DR. Ahmad Zain An Najah, MA

Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang menanyakan hukum memanfaatkan barang yang sedang digadaikan. Seperti halnya yang berkembang di masyarakat pedesaan, seseorang meminjam uang kepada teman atau orang lain, kemudian orang itu meminjamkan sejumlah uang kepadanya dengan syarat sawahnya harus digadaikan.
Selama masa peminjaman orang yang meminjamkan tadi memanfaatkan hasil sawah yang digadaikan, atau paling tidak dia mendapatkan setengah dari hasil sawah tersebut. Ini semua berlangsung atas kesepakatan mereka berdua. Bagaimana hukum bentuk pegadaian seperti ini dan sejenisnya ?

Tulisan di bawah ini, mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan di atas. Akan tetapi sebelumnya perlu saya terangkan secara umum tentang hukum-hukum yang terkait dengan pegadaian dalam Islam.

Pengertian Gadai

Gadai dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Ar-Rahn yang berarti : al-tsubut (tetap) dan al-habs (tahanan). (Muhammad Abu Bakar ar Razi, Mukhtar as Shihah, Kairo, Dar al Hadist, 2002 M, hlm : 151). Hal Ini sesuai dengan firman Allah l :

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya. “ (Al Mudatsir : 38)

Adapun gadai secara istilah bisa diartikan pinjam meminjam uang dengan menyerahkan barang dan dengan batas (bila telah sampai waktunya tidak ditebus, maka barang tersebut menjadi hak orang yang memberi pinjaman). (WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, 1976, hlm. 286).

Dalam literatur Fiqih, gadai (ar Rahn) diartikan dengan menjadikan barang sebagai jaminan dari hutang, sebagai pengganti jika hutang tersebut tidak bisa dibayar (al Khatib asy Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut Dar Al Kutub al Ilmiyah, juz :3, hlm : 38).

Dasar pegadaian adalah firman Allah l :

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah : 283)

Dalil dari As-sunnah adalah hadist Aisyah s, bahwasanya ia berkata :

اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

“Rasulullah n pernah membeli makanan dari seorang Yahudi yang akan dibayar pada waktu tertentu di kemudian hari dan beliau menggadaikannya dengan baju besinya.” (HR Bukhari, no. 1926).

Hukum Gadai

Mayoritas ulama berpendapat bahwa gadai itu dibolehkan, baik pada waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, baik ada penulisnya atau tidak ada. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah n yang menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah.

Adapun Mujahid dan Madzhab Dhahiriyah berpendapat, bahwa gadai itu tidak dibolehkan kecuali pada saat bepergian dan pada saat tidak ada petugas yang menulisi transaksi tersebut. Dalil mereka adalah firman Allah l Al-Baqarah ayat 283 di atas (al Mawardi, al Hawi al Kabir, Beirut Daar Al Kutub Al Ilmiyah, Juz : 6 , hlm : 4-5)

Hukum Menggunakan Barang Gadaian

Ada dua pihak yang menggunakan barang gadaian :

Pertama : Jika yang menggunakan barang gadaian itu adalah orang yang menerima gadai. Ini mempunyai tiga keadaan :

Keadaan Pertama : Jika penerima gadai (murtahin) menggunakan barang gadaian tersebut tanpa imbalan standar, maka hal itu diharamkan karena termasuk dalam kategori riba. Berkata Ibnu Qudamah :

( فإن أذن الراهن للمرتهن في الانتفاع بغير عوض ، وكان دين الرهن من قرض ،لم يجز ، لأنه يحصل قرضا يجر منفعة ، وذلك حرام)

“Jika ar rahin (pemilik barang gadai) mengijinkan bagi murtahin (pemegang gadai) untuk memanfaatkan barang gadai tersebut tanpa ada imbalan, sedang ar-rahin berhutang kepada al murtahin, maka hal ini tidak boleh, karena hutang yang memberikan manfaat bagi yang memberikan hutang, sehingga masuk dalam kategori riba.” (Al Mughni : 4/431).

Keadaan Kedua : Jika murtahin memanfaatkan barang gadai tadi dengan imbalan yang standar, maka para ulama berbeda pendapat : mayoritas ulama tidak membolehkannya, sedang Madzhab Hanabilah membolehkannya, karena yang demikian itu masuk dalam kategori akad sewa, dan bukan termasuk memanfaatkan barang gadaian.

Keadaan Ketiga : Jika barang gadai tersebut membutuhkan biaya perawatan, maka biayanya ditanggung oleh ar rahin (pemilik gadai tersebut). Namun jika penggadai tidak memberikan biaya perawatan, maka penerima gadai yang mengeluarkan biaya perawatan, tetapi dia dibolehkan untuk menaikinya sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya. Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah a, bahwasannya Rasulullah n bersabda :

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

“(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap orang yang mengendarai dan meminum susunya, ia wajib membayar.” (HR. Bukhari, no. 2329).

Itu adalah pendapat sebagian ulama Hanabilah, tetapi mayoritas ulama tidak membolehkannya karena barang gadaian tersebut bukan milik pemegang gadai. (Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid, Beirut, Dar Al Kutub al Ilmiyah, 1988 :Juz : 2, hlm : 276).

Adapun hadits di atas dianggap mansukh dengan hadits Ibnu Umar yang menyatakan bahwa tidak dibolehkan memerah susu kambing orang lain kecuali dengan ijinnya. Bahkan Imam Mawardi menyatakan bahwa hadits di atas tidak ada kata-kata yang menerangkan bahwa yang menaiki dan memanfaatkan barang gadaian tersebut adalah pemegang gadai (al murtahin). Imam Mawardi berkata, “Dalam hadits di atas diterangkan bahwa biaya perawatan dibebankan kepada yang menaiki dan meminum susunya, padahal kewajiban perawatan dibebankan kepada rahin (yang menggadaikan) bukan kepada murtahin (yang menerima gadai).” (Al Hawi al Kabir : 6/14 ). Hal senada juga disampaikan juga oleh Ibnu Rusydi di dalam Bidayat al Mujtahid : 2/ 276, “Tidak benar kalau diartikan bahwa yang menaiki dan yang memerah susunya adalah pemegang gadai (al murtahin).”

Kedua : Jika yang menggunakan barang gadaian itu adalah pemiliknya (ar rahin).

Mayoritas ulama membolehkan pemilik barang gadai untuk menggunakan barang gadaian jika hal itu tidak mengurangi harga barang tersebut, seperti menempati rumahnya sendiri yang digadaikan, atau menaiki kudanya yang digadaikan. Tetapi menurut mayoritas ulama, pemilik tersebut harus meminta ijin kepada murtahin (pemegang gadai). Adapun ulama Syafi’iyah membolehkannya secara mutlak walaupun tanpa ijin murtahin (pemegang gadai).

Dalil kelompok ini adalah sabda Rasulullah n :

لا يغلق الرهن من صاحبه له غنمه وعليه غرمه”. [رواه ابن ماجه ومالك وحسنه السيوطي].

“Barang gadaian tidak boleh ditutup dari pemiliknya. Pemiliklah yang akan mendapatkan keuntungan dan menerima kerugian dari barang tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan Malik dan dihasankan oleh Imam Suyuti).

Sedangkan madzhab Malikiyah tidak membolehkan ar rahin (pemilik gadai) untuk memnfaatkan barang gadaiannya secara mutlak walaupun dengan ijin pemegang gadai.

Kesimpulan :

Dari pembahasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa tidak boleh pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian seperti sawah, motor, dan lain-lain dalam bentuk apapun juga walaupun sudah diijinkan pemiliknya, karena hal itu termasuk riba yang diharamkan dalam Islam. Kecuali jika barang gadaian tersebut perlu biaya perawatan sedang pemiliknya tidak mau mengeluarkan biaya perawatan, sehingga biayanya dibebankan kepada pemegang gadai. Dalam keadaan seperti ini, menurut sebagian kecil ulama memperbolehkan pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian tersebut sebesar biaya perawatan yang dikeluarkan. Tetapi mayoritas ulama tetap mengharamkannya secara mutlak.

Hal yang serupa pernah ditanyakan oleh para ulama yang terkumpul dalam Lajnah Daimah untuk Fatwa di Arab Saudi (14/177) dan mereka menyatakan bahwa hukumnya haram karena termasuk dalam kategori riba. Wallahu a’lam.

Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang menanyakan hukum memanfaatkan barang yang sedang digadaikan. Seperti halnya yang berkembang di masyarakat pedesaan, seseorang meminjam uang kepada teman atau orang lain, kemudian orang itu meminjamkan sejumlah uang kepadanya dengan syarat sawahnya harus digadaikan. Selama masa peminjaman orang yang meminjamkan tadi memanfaatkan hasil sawah yang digadaikan, atau paling tidak dia mendapatkan setengah dari hasil sawah tersebut. Ini semua berlangsung atas kesepakatan mereka berdua. Bagaimana hukum bentuk pegadaian seperti ini dan sejenisnya ?



Tulisan di bawah ini, mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan di atas. Akan tetapi sebelumnya perlu saya terangkan secara umum tentang hukum-hukum yang terkait dengan pegadaian dalam Islam.



Pengertian Gadai



Gadai dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Ar-Rahn yang berarti : al-tsubut (tetap) dan al-habs (tahanan). (Muhammad Abu Bakar ar Razi, Mukhtar as Shihah, Kairo, Dar al Hadist, 2002 M, hlm : 151). Hal Ini sesuai dengan firman Allah l :



كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ



“Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya. “ (Al Mudatsir : 38)



Adapun gadai secara istilah bisa diartikan pinjam meminjam uang dengan menyerahkan barang dan dengan batas (bila telah sampai waktunya tidak ditebus, maka barang tersebut menjadi hak orang yang memberi pinjaman). (WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, 1976, hlm. 286).



Dalam literatur Fiqih, gadai (ar Rahn) diartikan dengan menjadikan barang sebagai jaminan dari hutang, sebagai pengganti jika hutang tersebut tidak bisa dibayar (al Khatib asy Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut Dar Al Kutub al Ilmiyah, juz :3, hlm : 38).



Dasar pegadaian adalah firman Allah l :



وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ



“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah : 283)



Dalil dari As-sunnah adalah hadist Aisyah s, bahwasanya ia berkata :



اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ



“Rasulullah n pernah membeli makanan dari seorang Yahudi yang akan dibayar pada waktu tertentu di kemudian hari dan beliau menggadaikannya dengan baju besinya.” (HR Bukhari, no. 1926).



Hukum Gadai



Mayoritas ulama berpendapat bahwa gadai itu dibolehkan, baik pada waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, baik ada penulisnya atau tidak ada. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah n yang menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah.



Adapun Mujahid dan Madzhab Dhahiriyah berpendapat, bahwa gadai itu tidak dibolehkan kecuali pada saat bepergian dan pada saat tidak ada petugas yang menulisi transaksi tersebut. Dalil mereka adalah firman Allah l Al-Baqarah ayat 283 di atas (al Mawardi, al Hawi al Kabir, Beirut Daar Al Kutub Al Ilmiyah, Juz : 6 , hlm : 4-5)



Hukum Menggunakan Barang Gadaian



Ada dua pihak yang menggunakan barang gadaian :



Pertama : Jika yang menggunakan barang gadaian itu adalah orang yang menerima gadai. Ini mempunyai tiga keadaan :



Keadaan Pertama : Jika penerima gadai (murtahin) menggunakan barang gadaian tersebut tanpa imbalan standar, maka hal itu diharamkan karena termasuk dalam kategori riba. Berkata Ibnu Qudamah :



( فإن أذن الراهن للمرتهن في الانتفاع بغير عوض ، وكان دين الرهن من قرض ،لم يجز ، لأنه يحصل قرضا يجر منفعة ، وذلك حرام)



“Jika ar rahin (pemilik barang gadai) mengijinkan bagi murtahin (pemegang gadai) untuk memanfaatkan barang gadai tersebut tanpa ada imbalan, sedang ar-rahin berhutang kepada al murtahin, maka hal ini tidak boleh, karena hutang yang memberikan manfaat bagi yang memberikan hutang, sehingga masuk dalam kategori riba.” (Al Mughni : 4/431).



Keadaan Kedua : Jika murtahin memanfaatkan barang gadai tadi dengan imbalan yang standar, maka para ulama berbeda pendapat : mayoritas ulama tidak membolehkannya, sedang Madzhab Hanabilah membolehkannya, karena yang demikian itu masuk dalam kategori akad sewa, dan bukan termasuk memanfaatkan barang gadaian.



Keadaan Ketiga : Jika barang gadai tersebut membutuhkan biaya perawatan, maka biayanya ditanggung oleh ar rahin (pemilik gadai tersebut). Namun jika penggadai tidak memberikan biaya perawatan, maka penerima gadai yang mengeluarkan biaya perawatan, tetapi dia dibolehkan untuk menaikinya sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya. Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah a, bahwasannya Rasulullah n bersabda :



الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ



“(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap orang yang mengendarai dan meminum susunya, ia wajib membayar.” (HR. Bukhari, no. 2329).



Itu adalah pendapat sebagian ulama Hanabilah, tetapi mayoritas ulama tidak membolehkannya karena barang gadaian tersebut bukan milik pemegang gadai. (Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid, Beirut, Dar Al Kutub al Ilmiyah, 1988 :Juz : 2, hlm : 276).



Adapun hadits di atas dianggap mansukh dengan hadits Ibnu Umar yang menyatakan bahwa tidak dibolehkan memerah susu kambing orang lain kecuali dengan ijinnya. Bahkan Imam Mawardi menyatakan bahwa hadits di atas tidak ada kata-kata yang menerangkan bahwa yang menaiki dan memanfaatkan barang gadaian tersebut adalah pemegang gadai (al murtahin). Imam Mawardi berkata, “Dalam hadits di atas diterangkan bahwa biaya perawatan dibebankan kepada yang menaiki dan meminum susunya, padahal kewajiban perawatan dibebankan kepada rahin (yang menggadaikan) bukan kepada murtahin (yang menerima gadai).” (Al Hawi al Kabir : 6/14 ). Hal senada juga disampaikan juga oleh Ibnu Rusydi di dalam Bidayat al Mujtahid : 2/ 276, “Tidak benar kalau diartikan bahwa yang menaiki dan yang memerah susunya adalah pemegang gadai (al murtahin).”



Kedua : Jika yang menggunakan barang gadaian itu adalah pemiliknya (ar rahin).



Mayoritas ulama membolehkan pemilik barang gadai untuk menggunakan barang gadaian jika hal itu tidak mengurangi harga barang tersebut, seperti menempati rumahnya sendiri yang digadaikan, atau menaiki kudanya yang digadaikan. Tetapi menurut mayoritas ulama, pemilik tersebut harus meminta ijin kepada murtahin (pemegang gadai). Adapun ulama Syafi’iyah membolehkannya secara mutlak walaupun tanpa ijin murtahin (pemegang gadai).



Dalil kelompok ini adalah sabda Rasulullah n :



لا يغلق الرهن من صاحبه له غنمه وعليه غرمه”. [رواه ابن ماجه ومالك وحسنه السيوطي].



“Barang gadaian tidak boleh ditutup dari pemiliknya. Pemiliklah yang akan mendapatkan keuntungan dan menerima kerugian dari barang tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan Malik dan dihasankan oleh Imam Suyuti).



Sedangkan madzhab Malikiyah tidak membolehkan ar rahin (pemilik gadai) untuk memnfaatkan barang gadaiannya secara mutlak walaupun dengan ijin pemegang gadai.



Kesimpulan :



Dari pembahasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa tidak boleh pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian seperti sawah, motor, dan lain-lain dalam bentuk apapun juga walaupun sudah diijinkan pemiliknya, karena hal itu termasuk riba yang diharamkan dalam Islam. Kecuali jika barang gadaian tersebut perlu biaya perawatan sedang pemiliknya tidak mau mengeluarkan biaya perawatan, sehingga biayanya dibebankan kepada pemegang gadai. Dalam keadaan seperti ini, menurut sebagian kecil ulama memperbolehkan pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian tersebut sebesar biaya perawatan yang dikeluarkan. Tetapi mayoritas ulama tetap mengharamkannya secara mutlak.



Hal yang serupa pernah ditanyakan oleh para ulama yang terkumpul dalam Lajnah Daimah untuk Fatwa di Arab Saudi (14/177) dan mereka menyatakan bahwa hukumnya haram karena termasuk dalam kategori riba. Wallahu a’lam.
Tags:

About author

Curabitur at est vel odio aliquam fermentum in vel tortor. Aliquam eget laoreet metus. Quisque auctor dolor fermentum nisi imperdiet vel placerat purus convallis.

0 komentar

Leave a Reply