Al-Qur’an dan Orieantalisme

Al-Qur’an dan Orieantalisme
(Krtitik Terhadap Konsep Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd terhadap al-Qur’an)
Oleh: Darwadi

1. Pendahuluan
Al-Qur’an Al-Karim adalah kalamullah. Inilah keistimewaan terbesar al-Qur’an, maka cukuplah ia memiliki predikat sebagai kalamullah. Allah SWT menyifati Al-Qur’an sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya,
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah Kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
Sebagaimana juga yang disebutkan didalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, bahwa Nabi SAW bersabda,
Arinya: Keutamaan Al-Qur’an atas segala ucapan adalah bagai keutamaan Allah atas semua makhluknya.
Al-Qur’an adalah kitab yang abadi yang diwahyukan kepada umat manuasia melalui Nabi Muhammad SAW untuk menjadi nasehat kepada seluruh makhluk. Dan tidak akan ada Nabi setelah Nabi Muhammad SAW dan tidak ada lagi wahyu setelah al-Qur’an al-Karim . Dan Al-Qur’an dalah kalamallah yang mutlak akan kebenarannya karena datangnya dari Allah SWT bukan dari makhluk dan dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai seorang nabi dan rosul. Karena tidak sebagai pembawa syari’at kalau dia bukan seorang nabi dan Rasul.
Dr. Yusuf al-Qardhawi menuliskan didalam bukunya bagaimana berinteraksi dengan al-Qur’an, bawhasanya al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu dari Allah SWT dan bukan hasil produk budaya yang berlaku pada saat itu. Seandainya ada orang yang mengatakan bahwasanya al-Qur’an adalah hasil produk budaya, berarti dia tidak tahu menahu tentang al-Qur’an, tentang sejarah dan masalah wahyu. Banyak orang asing yang adil dan yang bersikap objektif, lalu membaca al-Qur’an secara seksama kemudian mengatakan “ sekiranya kitab ini diturunkan disuatu hamparan gurun, maka pembacanya langsung tahu bahwasanya ia adalah al-Qur’an.
Habiya About seorang dosen di Perguruan Tinggi Colifornia berkata, “ apa pun isinya al-Qur’an bukanlah karya manusia. Jika kita mengingkari keberadaannya dari sisi Allah, maka kita menganggap bahwa Muhammad adalah Tuhan
Kata al-Qur’an berlaku sebagai nama bagi keseluruhan isi mushaf Qur’an dan nama bagi setiap ayat-ayatnya. Jadi tatkala seseorang mendengarkan satu ayat Qur’an dibacakan oleh orang lain maka dapatlah dikatakan bahwa ia itu membaca al-Qur’an.
Namun demikian, al-Qur’an juga pernah diselewengkan oleh pihak-pihak yang tidak senang kepada Islam dengan cara memberikan interpretasi (Penafsiran), pemahaman dan penjelasan keliru, yang tidak sesuai dengan tujuan diturunkannya. Tidak kalah rusaknya riwayat-riwat Israeliyat (dongeng-dongeng Israel) yang sempat mencemari beberapa kitab tafsir dan hadits.
Beberapa abad terakhir ini, muncul trend baru pengkajian Islam yang dilakukan oleh ilmuan Barat dengan menggunkan logika dan metodologi mereka sendiri, yaitu apa yang dikenal dengan “ Orientalisme”. Dan bidang kajian Orientalis ini, tidak hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu saja dari ajaran Islam. Bahkan, mencakup berbagai studi dan disiplin ilmu yang pernah digeluti oleh ulama-ulama Islam sendiri, diantaranya kajian tentang sumber pertama umat Islam, yaitu al-Qur’an.



2. Sejarah Perkembangan Al-Qur’an
a. Al-Qur’an Pada Masa Rasulaullah SAW
Wahyu Qur’an turun kepada Rasulullah SAW selama dua puluh tiga tahun, sejak Allah mengutusnya sebagai Nabi di Makkah sampai wafatnya waktu ia di Madinah.
Dalam (shahih) Bukhari dan Muslim, Anas Bin Malik berkata: “ yanga mengumpulkan al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW empat orang semuanya dari Ansar: Ubay Bin Ka’ab, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.” Ucapan Anas itu tidak berarti bahwa pada masa Nabi hanya empat orang itu saja yang hafal al-Qur’an, tidak ada yang lain. Qurtubi mengatakan: “sudah dapat dipastikan melalui pelbagai jalan yang mutawatir bahwa Qur’an sudah dikumpulakan oleh Usman, Ali, Tamim ad-Dari, Ubadah bin Sami dan Abdullah bin Amr bin Ash. Kata Anas: yang mengumpulakan al-Qur’an hanya empat orang kemungkinan bahwa Qur’an yang dikumpulkan dan dibawah bimbingan Rasulullah SAW sendiri dan sebagian besar yang lain ada yang belajar kepada Nabi dan ada juga yang belajar kepda yang lain. Sumber-sumber itu memperlihatkan keempat Imam itu mengumpulakan Qur’an pada masa Nabi SAW karena mereka memang sudah dahulu masuk Islam serta karena penghargaan Rasulullah SAW kepada mereka.
Para sahabat banyak kita lihat menyusun Qur’an pada masa Nabi, empat diantaranya menyusunya dengan cara diimla oleh Nabi sendiri. Kesepakatan para sejarawan itu memastikan susunan ayat-ayat dalam surah-surah itu sama dalam tiap jilid-jilid yang dikumpulkan sebelum Rasulullah SAW wafat, dan dalam jilid-jilid yang dikumpulkan setelah Rasulullah wafat, sebelum Abu Bakar memerintahkan mengumpulkan al-Qur’an itu. Adapun susunan surah-surah yang dimulai dari Fatihah, kemudian Baqarah, Ali Imran,An-Nisa’, Maidah dan berakhir dengan, dan apa yang dikatakan bahwa Rasulullah SAW menyerahkan semua itu kepada umatnya, memang ada perbedaan pendapat.


b. Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar RA dan Umar RA
Setelah Rasul wafat dan Abu Bakar menjadi khlifah, Musailamah al-Kadzab mengku dirinya sebagai Nabi. Dia mengembangkan khurafat dan kebohongan-kebohongannya kemudian berhasil mempengaruhi Bani Hanifah dari penduduk Yamamah lalu menjadi murtad. Setelah Abu Bakar mengetahui hal itu, beliau menyiapkan pasukan tentara yang terdiri dari 4000 pengendara berkuda, yang mengempur mereka. Kemudian banyak sahabat yang gugur syahid. Selain itu syahid pula 700 penghafal Qur’an.
Melihat banyaknya sahabat penghafal Qur’an yang gugur, timbul hasrat Umar Ibnu Khattab agar al-Qur’an dikumpulkan. Beliau khawatir al-Qur’an akan berangsur-angsur hilang, kalau hanya dihafal saja, karena telah banyak berkurangnya penghafal al-Qur’an.
Abu Bakar kemudian memerintahkan untuk melakukan kodifikasi al-Qur’an setelah perang Yamamah tersebut yakni pada tahun kedua Hijriyah. Ditunjuklah Zaid Bin Tsabit untuk melaksanakan tugas pengumpulan al-Qur’an tersebut. Maka Zaid bin Tsabit adalah orang yanaag paling berjasa dalam upaya pengumpulan al-Qur’an tersebut sebagaimana yang disebutkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Sahihnya. Proses pengumpulan al-Qur’an tidak dilakukan sendiri oleh Zaid Bin Tsabit, akan tetapi dibantu juga oleh Umar Ibnu Khattab, sebagaimana yang disebutkan dalam riwat Ibnu Abi Daud –dengan sanadnya- dari Hasym bin Urwah dari ayahnya, bahwa Abu Bakar pernah mengatakan kepada Umar dan Zaid “ duduklah kalian berdua dipintu masjid; siapa yang datang kepada kalian berdua dengan membawa dua orang saksi terhadap sesuatu dari al-Qur’an, maka tulislah. Demikian Ubay bin Ka’ab, karena terdapat riwayat dari Abu Aliyah, bahwa mereka mengumpulkan al-Qur’an dalam mushaf pada masa Abu Bakar. Beberapa orang dari mereka menulis sedangkan Ubay mendektekan untuk mereka. Setelah al-Qur’an ditulis dalam satu mushaf yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit, kemudian mushaf tersebut diserahkan kepada Hafsah istri Rasulullah SAW untuk disimpan.


c. Al-Qur’an Pada Masa Utsman RA
Ustman bin Affan adalah orang yang paling berjasa dalam penyempurnaan pengumpulan al-Qur’an. Menghimpun umat untuk menggunakan mushaf yang telah dikumpulakan oleh Abu Bakar. Ia menyuruh untuk menyalin mushaf-mushaf al-Qur’an dari mushaf-mushaf tersebut, lalu membagikannya keberbagai daerah dan membakar mushaf selainnya. Ketika itu Huzaifah bin al-Yaman bersama pasukan Muslimin yang lain terlibat dalam perang di Armenia dan di Azarbaijan, pada tahun kedua atau ketiga kekhalifahan Utsman. Dalam perang itu terdapat banyak orang Syam yang membaca menurut Miqdad bin Aswad dan Abu Darda’, jamaah Iraq membacanya menurut Ibnu Mas’ud dan Musa al-Asy’ari. Ia melihat pertentangan itu semangkin menjadi-jadi; mereka saling melaknat. Cepat-cepat ia pulang ke Madinah langsung menemui usman sebelum pulang kerumahnya.
“Cepat selamatkan umat ini sebelum menemui kehancuran,” katanya. “ Mengenai apa?” Tanya Usman. “Tentang Kitabullah,” kata Huzaifah lagi. “ Aku mengikuti ekspedisi itu. Aku telah bersama-sama dengan orang –orang dari Iraq, dari Syam dan dari Hijaz.” Lalu ia menceritakan tentang perselisihan yang terjadi sekitar bacaan Qur’an itu. “ Saya khawatir.” Katanya lebih lanjut, “mereka akan berselisih mengenai kitab suci kita seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Menurut hemat Usman itu memang berbahaya. Ia mengundang beberapa orang dan persolan tersebut dikemukakan. Mereka menanyakan pendapatnya. “Menurut pendapatku,” kata Usman, “orang harus sepakat dengan hanya satu bacaan. Kalau sekarang kita berselisih, maka perselisihan generasi sesudah kita akan lebih parah lagi.”
Kalangan pemikir menyetujui pendaptnya itu. Kemudian ia mengutus orang kepada Hafsah dengan permintaan agar mengirimkan mushaf Abu Bakar untuk disalin kedalam beberapa mushaf. Demikianlah terjadinya pertama kali pengumpulan Mushaf Usman dan penyeragaman dalam bacaan al_Qur’an.
Tidak perlu diragukan apa yang sudah dikalulakan Usman supaya bacaan al-Qur’an seragam, merupakan kebijakan yang luar biasa. Dengan ini al-Qur’an akan tetap terjaga kemurniannya sebagaimana yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasulullah SAW. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib: “orang yang paling besar jasanya dalam mengupulkan al-Qur’an adalah Abu Bakar. Dialah yang pertama kali menghimpun al-Qur’an menjadi dual oh. “ Tetapi jasa Usman juga tidak kurang dari jasa Abu Bakar dengan langkahnya mengoreksi adanya perbedaan (dalam ragam bacaan) dan menhindari perselisihan. Juga tidak mengurangi jasanya sekalipun orang berbeda pendapat dan sebagian menyalahkannya, karena ia telah membakar semua mushaf selain mushafnya sendiri. Kalau dia tidak segera bertindak tentu akan selalu ada pertentangan dan bencana pun tak terhindarkan.
Ketika ditanya tentang pembakaran mushaf-mushaf itu Ali bin Abi Thalib menjawab: ” kalau ia tidak melakukannya maka saya yang akan melakukannya.” Sungguhpun begitu orang masih saja melampaui batas dalam mengancam Usman karena memerintahkan membakar mushaf-mushaf itu. Didepan orang banyak Ali berkata:” Sauadara-saudara, janganlah kalian berlebihan dengan mengtakan Usman telah membakar mushaf. Dia membakarnya itu sepengetahuan sahabat-sahabat Muhammad SAW. Kalau saya dibaiat seperti dia, niscaya akan saya lakukan seperti yang dia kerjakan.
3. Riwayat Singkat Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd adalah seorang pemikir modernis Mesir yang sangat dikenal oleh para pemerhati perkembangan pemikiran Islam. Beberapa karyanya telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan pemikirannya banyak dianut dan diajarkan oleh para dosen, akademisi serta diajarkan dibeberapa perguruan tinggi. Kebanyakkan disebarkan nyaris tanpa keritik. Pujaan dan penghargaan bertaburan diberbagai buku, jurnal, ruang-ruang perkuliahan, seminar dan situs-situs internet. Bahkan oleh media Barat dia dipandang sebagai “ Hero” bagi tumbuhnya kebebasan berfikir, sementara di Negara asalnya dia diputuskan kafir oleh mahkamah dan didukung oleh lebih dari 2000 ulama.
Abu Zayd melewati masa kanak-kanak dan dewasanya di alam kebebasan berfikir dan dipusat khazanah keislaman, yakni Mesir. Kondisi inilah yang secara dinamais berpengaruh kepada pertumbuhan intelektualitasnya dikemudian hari. Apalagi sejak kecil, sebagaimana anak-anak mesir seusianya, Abu Zyad dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang amat religius, telah menguasai beberapa disiplin keislaman dengan baik, bahkan dalam usia 8 tahun beliau talah hafal al-Qur’an (30 Juz). Karena itulah dia dijuluki oleh kawan-kawannya sebagai “ Syaikh Nasr”. Pada tahun 1964 artikelnya yang pertama terbit dalam sejumlah jurnal yang dipimpin oleh Amin Al-Kuli, al-Adab. Mulai sejak itulah dia mempunyai hubungan dengan seorang tokoh penting dalam studi al-Qur’an di Mesir yang menawarkan pendekatan susastara (al-manhaj al-adabi) atas teks al-Qur’an. Tokoh inilah yang kemudian banyak mempengaruhi gagasan-gagasannya mengenai al-Qur’an.
Abu Zayd pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memproleh beasiswa untuk penelitian Doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pensnsylvania, Philadelphia. Karena itu ia menguasai bahasa Ingris lisan maupun tulisan. Dia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar bahasa Arab selam emapat tahun (Maret 1985-Juli 1989).
4. Konsep Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd Terhadap Al-Qur’an
Dalam melakukan kajian terhadap al-Qur’an, disamping merujuk kepada pendapat-pendapat Mu’tazilah, Abu Zayd banyak menggunakan metode Hermenetika . Sebagai seorang hermenet, maka tahap terpenting dalam melakukan kajian terhadap makna teks, adalah melakukan analisis terhadap corak itu sendiri. Ia harus mendefinisakan apa itu “teks”. Dengan itulah dapat diketahui kondisi pengarang tersebut. Untuk bible, hal ini tidak terlalu masalah. Sebab semua kitab dalam bible memang ada pengarangnya. Tetapi bagaimana untuk al-Qur’an, apakah ada orang yang disebut sebgai pengarang al-Qur’an?. Tokoh hermenetika modern, Friedrich Schleimacher (1761-1834), merumuskan teori hermenetiknya dengan berdasarkan kepada analisis terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (Sosial, Budaya, kejiwaan) pengarangnya. Analisis terhadap factor pengarang dan kondisi lingkungannya ini sangat penting untuk memahami makna suatu teks.
Bagi Nasr Hamid sudah tidak ada lagi apa yang disebut sebagai agama yang bersifat suci dan mutlak. Bahkan al-Qur’an yang ada ditangan kita sekarang ini pun tidak dianggapnya sebagai “Agama” dalam arti turun langsung dari Allah. Ini karena dalam pandangan Nasr Hamid, al-Qur’an yang ada ditangan kita sekarang ini adalah sebagai produk “ pemahaman manusia”, yaitu pemahaman Nabi Muhamad SAW. Dia menyatakan apa yang disebut suci itu hanyalah sebuah wujud metafisis yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. Berikut petikan dari Nasr Hamid Abu Zayd:
Semestinya disini kita tekankan bahwa kondisi teks suci yang baku hanya kondisi metafisis yang kita tidak tahu menahu tentangnya kecuali apa yang disebutkan oleh teks itu sendiri tentang dirinya dan oleh sebab itu, kita senantiasa memahaminya dari aspek manusia yang relative berubah. Dan teks (nass, baca: al-Qur’an) sejak turunya pertama – artinya sejak Nabi membacanya ketika diwahyukan kepadanya telah berubah dari kondisinya teks ketuhanan dan menjadi pemahman (teks kemanusian), karena itu telah berubah dari tanjil menjadi ta’wil.
Dalam pandangan Nasr Hamid, teks al-Qur’an terbetuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, al-Qur’an adalah “produk budaya” (munatj thaqafi). Ia juga menjadi “produsen budaya” (muntij li al-thqafah) karena menjadi teks yang hegomonik karena menjadi rujukan bagi teks yang lain. Disebabkan realitas dan budaya tidak dapat untuk dipisahkan dari bahasa manusia, maka Nasr Hamid juga menganggap al-Qur’an sebagai teks bahasa (nas lughawi). Realitas, budaya dan bahasa, merupakan fenomena histories dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu al-Qur’an dalah teks histories (a historical text). Historisitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunujukan bahwa al-Qur’an adalah teks manusiawi.
Pandangan diatas mengantarkan Nasr Hamid untuk sampai kepada kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah “produk budaya” (al-Muntaj al-Tsaqafi), yakni bahwa teks muncul dalam sebuah struktur budaya Arab abad ketujuh selama lebih dari dua puluh tahun, dan “ditulis” berpijak pada aturan-aturan budaya tersebut, yang didalamnya bahasa merupakan system pemaknaannya yang sentral. Namun, pada akhirnya, teks berubah menjadi “produser budaya” (muntij al-tsaqafah), yang mencipatakan budaya baru sesuai dengan pandangan dunianya, sebagaimana dalam budaya Islam sepanjang sejarah.
Aspek lain yang terkait dengan keberadaan al-Qur’an sebagai “produk budaya” adalah teks Qur’an bukan merupakan teks tunggal, melainkan teks plural yang terdiri dari berbagai teks: teks hukum, teks filsafat, teks sastra, teks sejarah, dll, sebagaimana pluralitas level konteks tertentu bagi makna dari setiap bagian-bagiannya. Dalam hal ini beliau menyatakan:
Dalam pluralitas teks di dalam struktur teks Qur’an ini pada satu sisi merupakan hasil dari konteks budaya memproduksi teks, karena ia terdiri dari unsur-unsur yang sama antara teks (Qur’an) dan teks-teks budaya, dan secara umum teks syair secara khusus.
Dalam “konteks kebudayaan” inilah Nasr Hamid mengatakan bahwa Qur’an dalah “teks Lingustik”, “teks Historis, “ teks Manusiawi”. Dan ketiganya terangkum dalam keberadaan Qur’an sebgai teks susastra (literary text). Oleh karena itu, pendekatan susastra tidak bias meninggalkan aspek linguistic, histories dan kemanusiawian teks, yang semuanya berangkat dari konteks budaya arab abad ketujuh.
Dengan berpendapat seperti itu, Nasr Hamid menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks yang lain di dalam budaya (anna al-nusus al-diniyyah nusus lughawiyyah sha’nuha sha’nayyat nusus ukhra fi al-thaqafah). Sekalipun asal muasalnya dari tuhan, namun Nasr Hamid, sebagaimana Schleiermachaer, berpendapat studi al-Qur’an tidak memerlukan mertode yang khusu. Jika metode khusu dibutuhkan, maka hanya sebagian manusia yang memiliki kemampuan saja yang mempu memahaminya. Manusia biasa akan tertutup untuk memahami teks-teks agama.
Dengan menyamakan status al-Qur’an dengan teks-teks yang lain, maka Nasr Hamid menegaskan siapa saja bisa mengkaji al-Qur’an: “ Saya mengkaji al-Qur’an sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji oleh kaum Muslimin, Kristen maupun Ateis.


5. Kritikan Tehadap Konsep Pemikiran Nasr Hamid
Kesimpulan Nasr Hamid bahwa al-Qur’an adalah produk budaya tidak tepat. Ketika diturunkan secara gradual, al-Qur’an ditentang dan menentang budaya Arab Jahiliyah pada waktu itu. Ketika menyampaikan agama Islam, Rasulullah SAW ditentang dengan menuduhnya sebagai orang gila. Allah SWT berfirman yang artinya: “Mereka berkata-kata: hai orang-orang yang diturunkan al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila,” sebagai penyair gila dan tukang tenung . Al-Qur’an juga menentang budaya jahiliyah yang bangga dengan kemampuan puisi mereka, dengan menyatakan: “ Katakanlah sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidakk akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.
Ibnu Ishaq (150H/767M) menyatakan orang-orang Quraisy mengnggap al-Qur’an dalah sesuatu yang sangat asing dengan budaya mereka.
Jadi, al-Qur’an bukanlah produk budaya, karena al-Qur’an bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Qur’an justru membawa budaya baru dengan menentang serta mengubah budaya yang ada. Jadi al-Qur’an bukanlah produk budaya jahiliyah. Namun justru kebudayaan jahiliyyah Arab yang diubah pada zaman Rasulullah SAW. Jadi, budaya pada zaman Rasulullah SAW adalah produk dari al-Qur’an, bukan sebaliknya.



6. Penutup
Dari uraian diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpuan diantaranya:
1) Para oreantalis dengan gencarnya melakukan kritikan-kritikan terhadap sumber utama umat Islam yakni al-Qur’an
2) Dari pertama turunnya wahyu kepada Nabi SAW maka al-Qur’an sudah terjaga dengan baik malalui tulisan dan hafalan para sahabat pada waktu itu.
3) Pada masa khalifah Abu Bakar atas ide Umar Ibn Khattab maka pengkodifikasian al-Qur’an dilaksanakan dengan mengangkat Zaid Ibn Tsabit sebagai ketua pelaksana dan dibantu oleh sahabta-sahabat yang lain
4) Pada masa khalifah Usman Ibn Affan terjadi perbedaan dalam bacaan al-Qur’an dan apbila perbedan tersebut dibiarkan maka akan memicu konflik melihat yang demikian maka Usman Ibnu Affan menyeragamkan bacaan al-Qur’an yang terkenal dengan mushaf Usman dan membakar mushaf-mushaf-yang lain.
5) Nasr Hamid Abu Zaid dengan ide hermenetikanya kemudian memberikan pernyataan bahwasanya al-Qur’an adalah produk budaya.
6) Beliau juga menyatakan bahwasanya tatkala wahyu sudah turun maka secara otomatis wahyu tuhan sudah berubah oleh pengaruh budaya dan bahasa dimana wahyu tersebut turun
7) Pernyataan bahwa al-Qur’an dalah produk budaya tidak bisa dibenarkan. Justru al-Qur’anlah yang kemudian banyak berperan dalam merubah budaya Arab pada waktu itu
8) Kita tidak menirima konsep pemikirin Nasr Hamid Abu Zaid. Karena konsepnya hanya layak diterapkan pada bible yang memang terdapat problem didalamnya. Sedangkan al-Qur’an adalah kitab suci yang terjaga sejak dari diturunkan sampai hari kiamat
9) Didalam menafsirkan al-Qur’an para ulama sudah menggariskan ketentuan-ketentuan. Tidak secara serampangan sebagaimana yang dilakukan oleh para oreantalis.



7. Daftar Pustaka
1. Fahdh Audah,Syaikh Salman, Bagaimana Nabi dan Sahabat Menafsirkan al-Qur’an, Penerjemah Marsuni Sasaky, Jakarta: Pustaka Azzam, Cet I, 2005
2. al alwani, Taha Jabir dan al Din Khalil, Imad, The Qur’an and the Sunnah: The Time-Space Factor, London: Internasional Institute of Islamic Thought
3. Hawari, Muhammad, Re-Idologi Islam membumikan Islam sebagai sistem, Bogor: Al-Azhar Press, Cet I, 2005,
4. al-Qardhawi,Yusuf, Bagaiman Berinteraksi Dengan al-Qur’an, Terjemah, Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, CetI, 2000
5. Faridl,Miftah dan Syahbuddin,Agus, Al-Qur’an Adalah Sumber Hukum Islam Yang Pertama,Bandung: Pustaka, Cet, I,1989
6. Rasyid,Daud, Pembaharuan Islam dan Orientalisme Dalam Sorotan, Jakarta: Akbar Media Ekasarana, Cet I, 2002
7. Hasbi Ash-Shiddiqy, Tengku Muhammad, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, Cet II, 1999
8. Aceh, Aboe Bakar ,Sejarah al-Qur’an, Kuala Kumpur: Pustaka Antara, Cet II, 1997
9. Syahin, Abdul Shabur, Saat al-Qur’an Butuh Penjelasan, Terjemah, Khairul Amru Harahap, Jakarta: Erlangga
10. Semait, Syed Ahmad, Sepuluh Yang dijamin Masuk Surga, Singapura: Pustaka Islamiyah, Cet I, 1995
11. Shalahuddin, Henri , Al-Qur’an di Hujat, Jakarta: Al-Qalam, Cet I, 2002
12. Sucipto, Heri, Ensiklopedi Tokoh Islam (Dari Abu Bakar sampai Nasr dan Qardawi), Jakarta: Hikmah, Cet I, 2003
13. Mustaqim,Abdul dan Syamsuddin,Sahiron, Studi al-Qur’an Kontemporer (Wacana Baru Metodologi Tafsir) , Jakarta: Tiara Wacana, Cet I, 2002
14. Jaiz, Hartono Ahmad, Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Cet I, 2005
15. Syafran,Nirwan, Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam, Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Cet I, 2007
16. Armas,Adnin, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an (KAjian Kritis), Jakarta: Gema Insani, Cet I, 2005
17. Mursi, Muhammad Sa’id,Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Terjemah, Khoirul Amru Harahap Lc, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet I, 2007
18. Husain Haekal, Muhammad,Usman bin Affan, Terjemah Ali Audah, Jakarta: PT. Mitra Kejaya Indonesia, Cet IV, 2006
19. Husain Haekal, Muhammad,Abu Bakar As-Siddiq, Terjemah Ali Audah, Jakarta: PT. Mitra Kejaya Indonesia, Cet IV, 2006
20. Husaini,Adian, Wajah Peradaban Barat (Dari hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler Liberal), Jakarta: Gema Insani, Cet I, 2005,

Tags: ,

About author

Curabitur at est vel odio aliquam fermentum in vel tortor. Aliquam eget laoreet metus. Quisque auctor dolor fermentum nisi imperdiet vel placerat purus convallis.

0 komentar

Leave a Reply