Fenomena Rusaknya Ilmu Di Perguruan Tinggi Islam


Fenomena Rusaknya Ilmu Di Perguruan Tinggi Islam
Oleh: Darwadi

A. Pendahuluan
B. Konsep Ilmu Dalam Islam
Ayat yang pertama diturunkan adalah mengenai perintah membaca. Dan ayat tersebut diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. seorang yang buta huruf (ummi) untuk menandakan berakhirnya masa mu’jizat (keluarbiasaan) mistis dan mulai memasuki masa kemenagan realistis.
Sedangkan surah yang kedua turun adalah Al-Qalam (alat tulis), “Nun, demi qalam (alat tulis) dan apa yang mereka tulis. (QS. Al-Qalam: 1)
Pada ayat 1 surah Al-Qalam ini, Allah SWT. bersesumpah dengan nama qalam (alat tulis) agar manusia memberikan perhatian bahwasanya menuntut ilmu adalah suatu yang sangat agung dan mulia.
Ilmu adalah mengetahui sesuatu dengan pengetahuan yang pasti. Dan ilmu yang bermanfaat ialah apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan kadang-kadang dari selain Rasulullah SAW, akan tetapi yang dari selain Rasulullah SAW adalah hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan seperti kedokteran, ilmu hitung (matematika), pertanian dan perdagangan.
Adapun mengenai masalah ketuhanan dan pengetahuan agama, maka dalam hal ini haruslah ilmu yang diambil dari Rasulullah SAW, karena beliau adalah orang yang paling mengerti tentang hal ini, paling antusias untuk memberitahukannya kepada manusia dan paling mampu menjelaskan dan menerangkannya. Maka beliau melebihi semua orang dalam hal ilmu, dan kemauan.
Syaikh Utsaimin didalam Syarah Kasfu Subhat membagi ilmu menjadi dua, dharuri dan nazhari. Dharuri adalah pengetahuan yang dapat diperoleh secara langsung tanpa melakukan penelitian secara langsung dan tanpa memerlukan pembuktian atau dalil, misalkan pengetahuan bahwasanya api itu panas. Sedangkan nazhari adalah pengetahuan yang hanya bisa diperoleh dengan cara melakukan penelitian dan dengan dalil, misalkan wajibnya niat dalam berwudu’.
Didalam memahami masalah-masalah yang tidak mampu dicapai oleh akalpun haruslah dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Bukan dengan pemahaman para filosof Yunani, India dan sebagainya, bukan pula pemahaman para ahli kalam yang terpengaruh sangat jauh oleh pemikiran para filosof tersebut, sehingga membuat mereka linglung dalam berfikir. Imam Al-Ghazali mengatakan, orang yang paling ragu tatkala menghadapi kematian adalah para hali kalam (filosof). Demikian juga Imam Syafi’y mengungkapkan bahwa kalau orang-orang mengetahui apa yang terdapat dalam ilmu kalam dari pada (mengikuti) hawa nafsu, niscaya mereka akan lari (berpaling) darinya seperti mereka lari dari kejaran harimau.
Kebanyakan para pemikir jatuh dalam kebingungan dan kegelisahan karena pengaruh pemikiran yang berasal dari luar wahyu Allah SWT tadi, hal ini dikarenakan; seperti yang dikatakan oleh al-allamah Ibnu Khaldun dalam karya agungnya al-Muqaddimah, ketika mengomentari pengaruh filsafat dan kerusakan pemikiran penganutnya, beliau mengatakan, “Dan dampak negative (mudharat) nya (filsafat dan ilmu kalam) terhadap kemurnian agama begitu banyak, maka wajib untuk dihalangi serta wajib pula untuk mengungkap dan menjelaskan aqidah yang benar (yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah yang shahih)”.
Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa Allah SWT mengumpamakan orang beriman yang hatinya sudah mati atau dalam kesesatan berada dalam kebinasaan dan kebingungan, lalu Dia menghidupkan kembali hatinya dengan iman serta memberikan petunjuk kepadanya dan menuntutnya agar mengikuti para Rasul-Nya. Kemudian Allah SWT memberikan kepadanya cahaya yang terang, dengan cahaya tersebut manusia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat. Atau dengan kata lain, dia mendapat petenjuk bagaimana harus berjalan dan memanfaatkan cahaya tersebut. Cahaya itu adalah Al-Qur’an, sebagaimana yang diriwayatkan Al-Ufi dan Ibnu Thalhah dari Ibnu Abbas.
Dan tatkala kaum Muslimin melakukan penakwilan tsaqafah asing yang datang dari Persi, India dan Yunani dan mencampur adukannya dengan pemikiran Islam sehingga hilanglah kemurnian dan kejernihan pemikiran Islam maka sejak itulah kaum Muslimin mulai meninggalkan agama mereka.
Sebenarnya agama Islam mendorong pemeluknya mencari pengetahuan dengan menuntutnya untuk menghargai bukti-bukti dan mewajibkannya mencurahkan segala kemampuan untuk mengetahui rahasia alam yang ada di depan matanya. Namun, itu semua dilakukan dalam batas-batas kewajaran lalu berhenti dalam batas-batas tertentu demi menjaga keselamatan aqidah.
Disinilah perlu disadari status akal terhadap agama yang hanya sebatas untuk memahami dan menggali kedalamannya. Maka untuk yang sudah jelas maka akal harus tunduk dan mengakui keberadaannya, sedang bagi yang belum jelas, akal diorbitkan untuk menggalinya. Dari hasil yang diperoleh tetap harus dikontrol dengan nash yang lain. Apabila bertentangan dengan nash maka jelas hasilnya tidak benar.
Dapat dilihat bahwa, konsep ilmu dalam Islam dengan konsep ilmu yang dikembangkan di Barat mempunyai perbedaan mendasar. Barat terlalu mendewakan akal dan mendorong untuk memikirkan segala hal . Sedangkan dalam Islam, akal harus tunduk kepada nash.
C. Kerusakan Ilmu Di Perguruan Tinggi Islam
Harun Nasution adalah sosok yang dianggap paling berjasa dan sebagai peletak dasar pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia yang dilakukan melalui IAIN Jakarta. Tahun 73, bukunya “ Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya” dijadikan sebagai buku rujukan wajib di seluruh Perguruan Tinngi Islam. Dengan dukungan Menteri Agama Mukti Ali proyek pembaharuan (Westernisasi) IAIN kemudian dilakukan secara sistimatis. Pelan tapi pasti akhirnya kiblat studi Islam di IAIN diarahkan ke Barat.
Memang sejak kembalinya Mukti Ali dan Harun Nasutin dari MacGill University, maka kurikulum pengajaran di IAIN berubah banyak. Berbagai macam disiplin ilmu baru kemudian diperkenalkan kepada mahasiswa. Misalnya: Ilmu perbandingan agama, pengatar ilmu agama Islam,, filsafat, mistisme/sufisme, teologi, sosiologi dan resech metodologi, orientalisme dan oksidentalisme.
Bersamaan dengan diperkenalkannya disiplin ilmu baru, methodologi baru pengajaran Islam pun kemudian dikembangkan. Kalau sebelumnya Islam diajarkan dengan menurut cara pandangan suatu aliran tertentu saja maka sekarang batasan itu dihilangkan. Mahasiswa sejak awal sudah diperkenalkan dengan berbgai macam aliran dan buku buku-buku rujukan yang secara kritis dikaji.
Kekayaan ini sangat mendorong mahasiswa untuk lebih terlibat dalam merespon problem masyarakat kontemporer, seperti Gender, Hak Azasi Manusia (HAM) dan Demokrasi.
Untuk melakuakn pembahuruan pemikiran Islam di IAIN, Harun Nasution mencari akar pembenarannya dalam teologi rasional ala Muktazilah dan mengenalkannya kepada masyarakat lewat buku dan pengajarannya di IAIN dan program pasca sarjana IAIN. “ Selama menjadi rektor (1973-1984) dan setelahnya sampai tahun 1990-an sebagai Direktur pada program studi lanjutan pertama yang dibuka di IAIN Jakarta, Nasution mengembangkan pemikiran Islam rasional dan menjadikan program S1 dan Pasca sarjana IAIN Jakarta sebagai agen pembaharuan pemikiran dalam Islam dan tempat penyemaian gagasan-gagasan keislaman yang baru.
Dari IAIN yang sekarang sebagian besar sudah menjadi Universitas Islam lahir beragam sarjana yang yakin dan yang ragu-ragu terhadap Islam. Bahkan, tidak sedikit yang aktif mengkampanyekan keraguan dan penghancuran terhadap Islam dan kadang kala ada yang lebih orientalis daripada sebagian orientalis sendiri. Ibaratnya, Harun Nasution sudah membuka pintu, kemudian berjubellah para mahasiswa, doktor, atau guru besar dalam studi Islam yang berlomba-lomba menjadi ekstrem dalam menyerang dan meragukan kebenaran Islam. Bahkan lebih ekstrem dari Harun Nasution sendiri.
Tentu saja, tidak semua IAIN rusak dan tidak semua akedemisi Muslim yang berada di IAIN juga melakukan perusakan terhadap agama. Tetapi, karena sejumlah akedemisi baik dosen maupun mahasiswa ketika merusak keilmuan Islam menggunakan atribut sebagai rector, dosen, atau mahasiswa IAIN, maka kesan yang ditimbulkanpun seolah-olah semua dosen atau kampus IAIN/UIN bersifat seperti.
“Proyek” perusakan IAIN yang paling serius adalah perusakan pada metodologi studi agama. Studi Islam berubah, dari cara yang dianggap ‘klasik’ menjadi cara modern yang berbasiskan pada pradigma keilmuan sekuler liberal. Jika Nurcholis Madjid melakukan aksi pembaharuan/sekulerisasi Islam melalui jalur publik maka Harun Nasution melakukannya dengan cara sistematis melalui institusi pendidikan tinggi Islam yang sangat strategis, yaitu IAIN. Institusi ini dibangun dengan niat yang baik, mengembangkan pendidikan dan keilmuan Islam. Karena itu, jika dari kampus ini lahir cendikiawan yang saleh dan tinggi ilmunya, tentunya bukan hal yang aneh. Itu bukan berita akan tetapi begitulah seharusnya.
Rusaknya pemikiran keagamaan di perguruan tinggi dapat dilihat dari aksi-aksi yang pernah dilakukan baik oleh dosen maupun oleh mahasiwanya. Pernah mencuat ke media massa ketika dosen IAIN Surabaya, secara sengahja menginjak lafadz Allah yang yang ditulisnya sendiri. Dengan aksinya itu, ia ingin membuktikan bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab suci, tetapi hasil budaya manusia. Menurut laporan Majalah GATRA edisi 7 Juni 2006, dosen yang bernama Sulhawi Ruba, 51 tahun, pada Mei 2006 lalu, itu memang sengahja menginjak-injak lafazd Allah yang ditulisnya pada secarik kertas.
Kasusu pelecehan nama Allah juga pernah terjadi di IAIN Bandung, dimana sejumlah mahasiswa membuat teriakan yang menghebohkan: “Selamat bergabung di area bebas Tuhan.” Dan ucapan: “Mari berzikir dengan lafdz anjinghu akbar”. Ketika sejumlah dosen IAIN Bandung dan para ulama memprotes hal itu, pimpinan kampus itu justru membela aksi mahasiswa tersebut.
Inilah contoh-contoh, dahsyatnya kerusakan ilmu. Ilmu yang salah pasti akan melahirkan amal yang salah. Kasusu-kasus ini hanyalah satu fenomena ‘gunung es’. Saat ini,sudah begitu mudah ditemukan jurnal, buku, atau artikel karya dosen-dosen dan mahasiswa IAIN/UIN yang mendesaklaralisasi Al-Qur’an. Buku-buku karya-karya pemikir modernis dan neo-modernis seperti Mohammed Arkoen, Nasr Hamid Abu Zayd, Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur dan para hemeneut lainnya sudah biasa menjadi sebagai rujukan penulisan artikel, buku, skripsi ataupun tesis.
Syaikh Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Pesan Dari Haji Wada’ mengatakan, apabila ketentuan Islam dilanggar; maka akan terjadi kerusakan, ketergantungan serta kebodohan, kemudian orang-orang bodoh tersebut menutupi ilmunya, dan memalsukan syariatnya. Mereka akan selalu melakukan hal itu, sampai sikorban akan masuk golongannya, bukan golongan umat lain.
D. Penutup
E. Daftar Pustaka
1. Amru Khalid, Bangkitlah Menuju Perubahan Hidup yang Lebih Sukses, Semarang: Pustaka Nuun, Cet I, 2007
2. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarah Al Ustulutsalasah, Iskandariyah: Darul Aqidah, 2004
3. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, Al-Furqan Bainal Haq wal Bathil, terj Drs. As’ad Yasin, Solo: Pustaka Mantiq, Cet I, 1995
4. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarah Kasyfu Syubuhat, trj Bayu Abdurrahman, Jogyakarta: Media Hidayah, Cet I, 2004
5. Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, trj Drs. Makrum Khalil, M.Ag, Jakarta: Misaka Galiza, Cet I, 2005
6. Muhammad Hawari, Re-Ideologi Islam Membumikan Islam Sebagai Sistem, Bogor: Al-Azhar Press, Cet I, 2005
7. Dr. Adian Husaini, MA, Kumpulan Akhir Pekan Membendung Arus Liberalisme Di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet I, 2009
8. Dr. Adian Husaini, MA, Virus Liberalisme Di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, Cet I, 2009
9. Ulil Amri Syafri, MA, Da’wah Mencari Peluang dan Problematikanya, Jakarta: STID M. Natsir Press, Cet I, 2007
10. Imam Al-Ghazali, Pesan Dari Haji Wada’, bandung: Sega Arsy, Cet I, 2009
11. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Rahasia Takdir ( Suatu Ketetapan), Jakarta: Al-Fath, Cet I, 2009
12. Ahmad Husnan, Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim, Surakarta: Al-Husna, Cet I, 2005
13. Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN Mpdernisasi Islam di Indonesia, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, Cet I, 2005
14. Taqiyyuddin An-Nabhani, Sur’atul Badihah, trj Syamsuddin Ramadhan, Bogor: Al-Azhar Press, Cet I, 2003

Tags: , ,

About author

Curabitur at est vel odio aliquam fermentum in vel tortor. Aliquam eget laoreet metus. Quisque auctor dolor fermentum nisi imperdiet vel placerat purus convallis.

0 komentar

Leave a Reply